Kamis, 10 Desember 2009


MAZHAB KHAWARIJ, MURJI’AH, JABARIYAH, DAN QADARIYAH DALAM ILMU KALAM
PENDAHULUAN
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah.
Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan, menggulingkan pemerintahan Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan.
Pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang mazhab Khawarij, Murjiah, Qadariyah, dan Jabariyah.
PEMBAHASAN
1. KHAWARIJ
1) Latar Belakang Kemunculan
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang bererti keluar, muncul, timbul, atau memberontak[1]. Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/ 648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sofyan[2]. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada dipihak yang benar, karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibaiat mayoritas umat Islam sementara muawiyah berada dipihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. lagi pula berdasarkan estinasai Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraihnya itu raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu, terutama ahli qurra seperti Al-as’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-tamimi, dan Zaid bin Husain Ath-Thai, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)nya,tetapi orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat orang Khawarij. Mereka membelot dan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum pada manusia.Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab, ” itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru.” Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Kadang-kadang mereka disebut dengan syurah dan Al-mariqoh.
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di harura, kelomok Khawarij ini melanjutkan perlawanan pada Muawiyah dan juga pada Ali. Mereka mengangkat seorang pimpinan yang bernana Abdullah bin Shahab Ar-Rosyibi[3].
2) Khawarij dan Doktrin-Doktrin Pokoknya
Diantar doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini:
1. Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam,
2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab,
3. Khalifah dipilih secara permanent selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau ia melakukan kezaliman[4].
4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa khalifahannya, Usman dianggap telah menyeleweng,
5. Khalifah Ali adalah sah tetapi stelah terjadi arbitrase (takhim), Ia dianggap telah menyeleweng,
6. Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asyari juga telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir,
7. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir[5].
8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula,
9. Setiap Muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi,
10. Seseorang harus menghindar dari pimipinan yang menyeleweng,
11. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga dan orang jahat masuk neraka),
12. Amar ma’ruf nahi mungkar
13. Memalingkan Ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasabihat (samar),
14. Manusia bebas mengutuskan perbuatannya dari tuhan,
3) Sekte-Sekte Khawarij
1. Al-Muhakkimah,
2. Al-Azriqah,
3. An-Nadjat,
4. Al-Baihasiyah,
5. Al-Ajaridah,
6. As-Saalabiyah,
7. Al-Abadiyah,
8. As-Sufriyah.
1. AL-MURJI’AH
1) Asal-Usul Kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena tiu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teri pertama mengatakan bahwa gagasann irja dan arja’ dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubuh Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Alquran dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hokum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim tiu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak[6].
2) Doktrin-Doktrin Murji’ah
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya diakhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
3. Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (Mazhab) para skeptis dan empirin dari kalangan Helenis.
Sementara itu Abu ‘a’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:[7]
1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya menjauhkan diri dari syirik dan mati dam keadaan akidah tauhid.
3) Sekte-Sekte Murji’ah
Muhammad Imarah menyebutkan dua belas sekte Murji’ah, yaitu:
1. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan.
2. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi.
3. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.
4. As-samriah, pengikut Abu Smar dan Yunus.
5. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
6. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimasqy.
7. An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
8. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
9. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.
10. Al-Mu’aziyah, pengikut Mu’adz Ath-Thaumi.
11. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
12. Al-Kalamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
1. JABARIYAH
1) Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[8]
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
2) Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:
1. Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
1. Manusia tidak mampu untuk brbuaat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentangketerpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaandengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak
Dengan demikian beberapa hal, pendapat Jahm hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para pengkrtik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
1. Ja’d bin dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
1. al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
a) An-Najjar
Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b) Adh-Ddirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
1. QADARIYAH
1) Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Harun Nasition menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.[9]
Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasqy. Ma’bad adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
2) Doktrin-Doktrin Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.[10]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahqa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah.
PENUTUP
Demikianlah sekelumit uraian tentang aliran Khawarij, Murji’ah, Jabariyah, dan Qadariyah dalam teologi Islam. Kurang lebihnya kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangannya.
Selanjutnya saran dan kritik yang produktif sangat kami harapkan dalam memperbaiki eksistensi uraian tentang aliran kalam ini. Mudah-mudahan kita selalu dalam naungan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abul A’la, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1994.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,UI Press, Jakarta, 1986.
Madjid, Nurcolis, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Cet. II, Jakarta, 1985.
Anwar, Rosihan. Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
________________________________________
[1]. Drs. Rosihan Anwar, Drs. Abdul Rozak, Ilmu kalam, (pustaka setia: bandung, 2003) cet.2 hal.49
[2]. Harun Nasution, Tiologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Pres: 1985 cet. 1, hal. 11
[3]. Ibid, hal. 50
[4]. Harun Nasution Teologi Islam, hal 12
[5]. Nurkhalis Majid, Khajanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, cet.2, Jakarta: 1985, hal.12
[6] Rosihan Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm. 56-57.
[7] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, terj. Muhammad Albaqir, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 279-280.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 31.
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm.31.
[10] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar